Terdapat tiga fase dalam Pemilu, yaitu Fase Kampanye, Fase Hari Pemungutan Suara, dan Fase Pasca-Pemungutan Suara. Fase-fase ini membawa ciri khas topik pantauan yang berbeda-beda pula.
Selama fase pemungutan suara dan pascapemungutan suara kerap dimanfaatkan penyebar hoaks dengan membagikan video yang diklaim sebagai temuan pemilih siluman.
Sebagai contoh, baru-baru ini beredar di media sosial sebuah video yang memperlihatkan seseorang tengah menghardik dua warga lainnya. Video tersebut dibagikan dengan klaim bahwa warga Makassar telah menangkap pemilih siluman pada Pemilu 14 Februari 2024.
Video itu disertai narasi: “Warga Makassar. Garang terhadap kecurangan Pemilu, Pak RT dilabrak, Bawaslu menghilang. Harap kepada semua relawan AMIN, bisa mencontoh ketegasan ini…”
Faktanya, video tersebut merupakan kejadian pada Pemilu 2019. Ketua KPPS serta dua orang pemilih siluman diamankan saat hendak melakukan pencoblosan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 34, Kelurahan Banta-bantaeng, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, pada Pemilihan Umum, Rabu, 17 April 2019.
Mengutip Cekfakta.com, konsekuensi jika terdapat “Pemilih Siluman” dan “Suara Siluman” di suatu TPS? Jika dilihat dari PKPU 25/2023 dan Juknis No 66/2024 maka besar kemungkinan akan dilakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) dengan memerhatikan pertimbangan KPU Kota untuk mengambil keputusan.
Dalam jurnal KPU, “Pemilih Siluman” atau ghost voter merupakan pemberian suara dilakukan oleh pemilih yang tidak berhak. Adapun beberapa modus dari pemilih siluman ini antara lain:
a) Pemilih yang belum cukup umur tapi dikondisikan untuk memilih
b) Pemilih yang menggunakan hak milik orang lain dan pemilih yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) maupun Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), namun memilih dengan menggunakan identitas kependudukan yang bukan beralamat di TPS, desa atau kecamatan tempat memilih.
Tips Terhindar dari Hoaks
Penyebar hoaks cenderung pintar merangkai kata dan memainkan fakta. Hal ini dilakukan untuk menghindari kritik dengan membelokkan pembahasan atau mengalihkan pembicaraan. Maka dari itu pengguna hendaknya cermat dan teliti saat mendapati situasi seperti ini di media sosial atau internet.
Dilansir dari hukumonline.com, salah satu kiat yang bisa dilakukan adalah dengan menjaga emosi tetap stabil saat menghadapi informasi yang bernada sensasional atau berlebihan dan berpotensi hoaks.
Pakar Komunikasi dari Universitas Indonesia Firman Kurniawan membagikan beberapa kiat yang bisa diikuti agar masyarakat tidak terjebak hoaks yang jumlahnya bertambah memasuki masa kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024.
Salah satu kiat yang bisa dilakukan adalah dengan tetap menjaga emosi tetap stabil saat menghadapi informasi yang bernada sensasional atau berlebihan dan berpotensi hoaks.
“Hal paling utama adalah jangan emosional ketika menerima informasi yang diduga hoaks. Karena ketika masyarakat emosional, kadang-kadang berakhir membuat pernyataan-pernyataan yang tidak perlu dan akhirnya merugikan,” kata Firman seperti dikutip dari Antara di Jakarta, Minggu (3/12).
“Masyarakat ini perlu membentengi diri sendiri. Pertanyakan apakah sumber informasinya benar? Apakah sumbernya dapat dipercaya? Apakah ada media lain yang menyatakan hal sama? Pertanyaan-pertanyaan kritis ini membantu masyarakat tidak asal telan informasi,” lanjut Firman.
Selanjutnya cara mudah yang perlu dilakukan agar tidak terjebak hoaks ialah melakukan konfirmasi atau verifikasi melalui sejumlah media kredibel atau organisasi pemeriksa fakta seperti Cekfakta.com.
CekFakta.com adalah sebuah sebuah proyek kolaboratif pengecekan fakta yang diinisiasi Mafindo (Masyarakat Antifitnah Indonesia), AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia).
Kolaborasi ini diluncurkan di ‘Trusted Media Summit 2018’ pada Sabtu, 5 Mei 2018 di Jakarta dengan melibatkan puluhan media online di Indonesia serta jejaring ratusan pemeriksa fakta di seluruh Indonesia.
Tim Cek Fakta PaluPoso.id
Follow Berita PaluPoso.id di Google News