Oleh: Tasdik
Pemungutan Suara Ulang (PSU) sering kali menjadi momok dalam proses demokrasi. Bukan karena rakyat menginginkannya, tetapi karena pihak yang kalah menolak menerima hasil pemilu. Dengan berbagai dalih, mereka menggugat dan memaksa pemilu diulang, tanpa peduli bahwa yang dikorbankan adalah rakyat itu sendiri.
Jika demokrasi adalah suara rakyat, mengapa hasil yang sudah jelas justru dipermasalahkan? Jika memang memiliki dukungan kuat, kemenangan seharusnya diraih secara meyakinkan sejak awal, bukan dengan memanfaatkan celah hukum untuk mengulang proses pemilihan. Yang lebih ironis, PSU bukan hanya membuang waktu dan energi masyarakat, tetapi juga membebani keuangan negara. Miliaran rupiah dihabiskan untuk sesuatu yang seharusnya tidak perlu terjadi—uang yang bisa digunakan untuk pendidikan, kesehatan, atau pembangunan daerah.
Di sinilah kita harus bertanya: apakah PSU benar-benar untuk kepentingan demokrasi, atau hanya sekadar ambisi kekuasaan? Demokrasi sejati menjunjung tinggi sportivitas dan penerimaan atas pilihan rakyat, bukan mempermainkan sistem demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, setiap pemilu bisa menjadi ajang “coba lagi” bagi mereka yang tidak bisa menerima kekalahan. Rakyat sudah lelah dengan politik yang penuh kepentingan. Demokrasi harus dijaga, bukan dimanipulasi. Sudah saatnya pemilu dijalankan dengan kedewasaan politik, bukan sekadar nafsu berkuasa.
Ikuti Berita PaluPoso di Google News